Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Pendidikan Mahal

Belum lama energi bangsa ini terkuras oleh persoalan pro-kontra RUU Sisdiknas menjadi UU Sisdiknas, kembali dunia pendidikan menarik perhatian kita. Pro dan kontra kembali terjadi, meskipun persoalan Aceh, "Sukhoigate", dan isu sebagian anggota MPR berfoya-foya di luar negeri juga turut mengemuka.



Persoalan pendidikan kali ini mengenai mahalnya biaya pendaftaran masuk sekolah dan Perguruan Tinggi. Persoalan ini memang persoalan klasik yang selalu hadir dari tahun ke tahun saat tahun baru ajaran akan dimulai. Tapi persoalan besarnya biaya pendidikan yang timbul tidak bisa dianggap persoalan yang remeh, karena hal ini menyangkut keadilan dan hak bagi seluruh anggota masyarakat untuk bersama-sama mendapat pendidikan yang bermutu dan berkualitas.

Adalah sejak tahun 2000 pemerintah memberikan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia. PTN yang mendapat status BHMN yang dimaksud adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Keempat PTN ini termasuk PT yang paling diminati oleh calon mahasiswa di antara PT yang ada di Indonesia. Maka tidak heran jika kemudian keempat PTN ini selalu menjadi incaran bagi calon mahasiswa baru. Dan, menjadi PT yang bestatus BHMN nampaknya kini menjadi suatu hal yang bergengsi dan membanggakan dalam dunia perguruan tinggi kita.

Sejak berstatus BHMN keempat PTN ini makin mandiri saja mencari dana. Sebab pemberian status BHMN itu juga berarti tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Dengan kata lain, PTN yang bersangkutan memiliki kebebasan sendiri untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing. Dari sinilah pro-kontra dan perang opini mengenai besarnya biaya pendidikan itu mencuat. Mengapa? Bagi pihak PTN yang berstatus BHMN tentu saja hal ini menguntungkan dengan alasan bahwa, untuk menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya besar dan mahal. Dengan demikian, tentu saja tunjangan isensif para dosen dan karyawan akan ditingkatkan. Maka persoalan mutu pendidikan sebenarnya dapat terbaca. Bukan terletak pada biaya pendidikan harus mahal, tapi gaji guru dan dosen harus tinggi. Dan saya kira, ini tugasnya pemerintah dan berkaitan erat dengan kebijakan yang dibuat dalam memajukan dunia pendidikan ke depan.

Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, yang prihatin dengan nasib masyarakat yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja PTN yang memiliki status BHMN itu menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kalaulah alasannya pendidikan bermutu itu harus mahal, alasan ini hanya berlaku di negara yang mengaku Sumber Daya Alamnya sangat banyak ini. Karena di Jerman, Perancis, Belanda, dan di negara berkembang lainnya, menurut para ahli pendidikan, juga banyak memiliki PT yang bermutu tapi biaya pendidikannya sangat rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya. Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka, formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia saja. Ini dalam artian sebenarnya. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka tidak terlalu salah jika kemudian timbul istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia pendidikan kita saat ini.